Minggu, 09 September 2012

Kelemahanku, Sumber Kekuatanku



"Suplai bantuan ALLAH, tidak berlaku bagi orang yang dikuasai oleh hawa nafsu dan mengikuti syahwatnya" (Fudhail bin Iyadh)


Dahulu, ketika Fir'aun terjebak dalam situasi genting. ketika tubuhnya tak mampu menghadapi tamparan dan hempasan ombak yang menggulung dan melempar tubuhnya bak seonggok mainan. ketika itu, kesadaran dan kejujurannya terkuak. Kesombongannya hancur, kemunafikan dan kebohongannya hilang. Nurani dan fitrahnya terkuak sampai akhirnya ia mengaku beriman kepada Allah swt.. "Amantu birabbi muusaa waa haruuun" , Aku beriman kepada Tuhannya Musa dan Harun.
Disaat-saat sempit. Ketika seseorang merasa tidak berdaya menyelamatkan diri dari ancaman bahaya. Di saat manusia dibenturkan oleh kondisi yang sulit. Di antara sengal nafas kepayahan dan kecemasan. Biasanya din kala itulah kedekatan dan kepasrahannya semakin kuat kepada Allah. Di kala itulah ketergantungan tulus lahir dan hanya diberikan kepada Allah swt.

Suasana itulah yang dialami Fir'aun. Dan itulah tabiat manusia. Baru merasakan kebutuhan yang sangat tinggi tatkala diri merasa tak mampu berbuat menghadapi realita. Baru merasakan sangat bergantung kepada Allah, ketika merasa tak mungkin lagi mencari jalan selamat dari masalah. Kondisi tercekam, mencekik, mentok, kerap memunculkan kesadaran fitrah akan kebutuhan perlindungan Allah swt.

Kita tak perlu mengalami kondisi seperti itu, untuk kemudian buru-buru bergantung penuh kepada Allah. Haruskah kita melewati masa-masa sulit yang serba dilematis, sangat terancam bahaya, baru kemudian merasa butuh dan bersandar kepada alloh? Pernahkah kita merenungkan bahwa sebenarnya, sepanjang hidup, manusia selalu dalam kondisi dilematis, sangat terancam bahaya, terbentur ketidakberdayaan, terpepet oleh bayangan musibah dan petaka?


Manusia sebenarnya selalu dalam kondisi kepepet dan terbentur oleh problem berat yang tak mungkin diantisipasi. Pandanglah tubuh kita. Kita akan dapati tiap bagian tubuh ada jalan atau lubang yang rawan bagi datangnya penyakit. Mata, telinga, hidung, kulit, mulut, kaki, tangan. Semuanya retan oleh luka dan penyakit. Belum lagi ditambah penyakit dalam seperti tumor, kanker dan semacamnya yang seringkali nyaris tidak terasa keberadaannya, namun sangat berbahaya. Itulah manusia. Tubuhnya rentan penyakit. Ibarat kota terbuka yang setiap saat dan dari segala arah dapat diserang dan dirobohkan, tubuh kita nyaris tak mampu membuat perlindungan yang menjamin keselamatannya.
Ketergantungan kepada Allahh (ta’alluq billah) harusnya muncul hanya pada ketika seseorang diuji oleh masalah berat. Jangan menunggu menghadapi kondisi yang sangat memukul. Tak perlu menanti sampai kita jatuh terpuruk hingga tak berdaya menghadapi berbagai ujian. Ketergantungan pada alloh, rasa pasrah, tawakkal, bersandar penuh atas kehendak Allah harus ada setiap saat. “ketahuilah, takdir itu tidak berjalan menurut rencana kita, bahkan kebanyakan terjadi adalah apa yang tidak kita rencanakan, dan sedikit sekali terjadi ada yang kita rencanakan,” ujar Ibnu Athaillah.


Yang dimaksud Ibnu Athaillah tentu bukan mengabaikan usaha apapun untuk diserahkan sepenuhnya pada kehendak Allah. Karenanya, beliau mengiringi ucapannya itu dengan ucapan inna tasabbub laa yunaafi tawakkul. Sesungguhnya mengusahakan sebab musabab itu tidak menafikan tawakkal.

Begitu banyak peristiwa yang mengajarkan, bagaimana pun tinggi derajat seorang manusia di sisi Allah, ia tidak terlepas dari ancaman kesulitan dan problem. Perhatikanlah umar bin khattab, seorang penguasa adil yang sangat dicintai rakyatnya. Tapi, bagaimana ia akhirnya sampai terbunuh karena fitnah tuduhan berbuat dzalim? Kalau seorang besar sekaliber umar mengalami hal seperti itu. Bagaimana dengan kita?

Saudaraku,Mungkin muncul pertanyaan lain, apa gunanya menjalin hubungan baik dengan Allah dan memohon pengawasan Allah yang luas, jika ternyata para hambanya yang dicintainya, para walinya yang dekat kepadanya, tidak selamat dari segala bentuk kezaliman dan tak terlepas dari segala bentuk penipuan? Di mana pagar inayah alloh sekitar umar, Utsman dan ali yang telah dibunuh secara keji?


Itulah sebenarnya rahasia sikap ketergantungan pada Allah. Siapapun kita, tetap berada dalam kehidupan yang rawan oleh bahaya. Karena itu, ketergantungan pada Allah mutlak, kapan pun di manapun, sepanjang manusia hidup. Selanjutnya, mari kita luruskan cara memandang terhadap masalah di atas, sehingga tidak terjebak pada sudut pandang peristiwa, hanya dari sisi lahiriyah. Bagaimana pendapat kita, jika kita mengetahui ternyata beberapa hari sebelumnya wafatnya. Umar dikisahkan telah memohon kepada Allah agar Allah mengaruniakan syahid kepadanya? Dan ia memohon agar syahidnya itu bukan di medan perang ketika melawan Parsia, Romawi dan semacamnya. Ia memohon dapat mati syahid di Daarul Hijrah, kota Madinah sendiri. Sepertinya, umar telah menetapkan cara yang ia pilih dalam menghadapi ajal yang mendatanginya. Umar, dan orang-orang besar sepertinya, mengetahui watak kehidupan dunia ini. Dan mereka mengetahui juga tugas berat yang dipikul para rasul menanamkan bibit keimanan, akhlak, keadilan dan membersihkan berbagai kemungkaran di muka bumi.

Mereka mengetahui dan menyadari tugas itu dan mereka laksanakan tugas berat itu dengan rasa tenang dan gembira. Nasib buruk apapun yang bakal mereka temui di dalamnya, tidak menyusahkan mereka. Kematian bagaimanapun yang mengakhiri hidup mereka tidak menggentarkan mereka. Bahkan kadang-kadang hal itu menjadi cita-cita mereka, sebagaimana permintaan Umar bin Khattab tadi.

Ketenangan. Itulah kondisi jiwa yang pertama menjadi buah ketergantungan pada Allah. Keberanian. Itulah buah selanjutnya. Ketika Nabiyullah Musa as. Dan kaumnya di himpit oleh Fir’aun dan balatentaranya. Di hadapan mereka ada lautan dengan ombak menggunung, sementara di belakang sudah terlihat kepulan debu kuda pasukan Fir’aun siap menerkam. Saat sejumlah Bani Israil merasa ketakutan. Nabiyullah Musa tetap yakin dan pasrah pada Allah, “Kalla, inna ma’iya rabbi sayahidiin”, sekali-kali mereka tidak akan dapat menghancurkan kita. Sesungguhnya Allah bersamaku, dan dialah yang akan memberiku petunjuk". Katanya tenang.

Kondisi ini tidak muncul tiba-tiba. Nabiyullah Musa telah menanamkan ketergantungan tinggi kepada Allah dalam perjalanan hidupnya. Karenanya, saat menghadapi situasi gentingpun, jiwa tetap tenang. Keyakinannya itu yang menafikan ketergantungan selain Allah. Keyakinannya itu yang memunculkan rasa keberaniaan dan ketenangan.
Manusia memang lemah. Allah lah yang membuat kelemahan itu menjadi kuat. Dengan begitu, kita mengerti kenapa ulama Turki, Badi’uzzaman Said An-nursy memiliki konsep prinsip yang berbunyi, “Kanzi Ajzii,” sumber kekuatanku adalah kelemahanku. Karena pada kelemahan itulah, sandaran pada Allah semakin kuat, sehingga, supplai tenaga dan keyakinan itu bertambah.





"Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku” (QS. Thoha: 25-28)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOTA LAMA "OLD TOWN"

Semarang , Rabu , 18 september 2019 Hai readers , setelah sekian lama ga upload bahan ataupun tulisan di blog, akhirnya hari ini pen...